Makalah Korupsi di Kalangan Elit Politik

KORUPSI DI KALANGAN ELIT POLITIK

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pendidikan Kewarganegaraan
Yang dibina oleh Bapak Muchsin Zain








Oleh






UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA
Maret 2012




BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal; dan kedua, anggota dewan memiliki otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah, tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan bersama-sama dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif (Value For Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran (Mardiasmo, 2003).
Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif. Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan.
Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi vampir state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada penghancuran karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi koruptor juga menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).
Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).
Bentuk tindak pidana korupsi pada level legislatif adalah korupsi APBD untuk pos keuangan DPRD yang terjadi akhir-akhir ini dan marak diberitakan di berbagai media. Pidana korupsi APBD kebanyakan melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah diganti dengan PP 24/2004 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena telah menganggarkan pesangon. Di Kota Padang Sumatera Barat 43 anggota DRPD telah dijatuhi vonis karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD Bali telah melakukan penggelapan uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah 112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga terjadi di jawa Timur seperti di DPRD Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih banyak lagi (Kompas, 8/9/04)
Oleh karena itu, melalui makalah ini akan dijelaskan apa itu korupsi sebenarnya, apa faktor-faktor yang mengakibatkan beberapa pihak melakukan korupsi seperti penjelasan di atas, serta bagaimanakah solusi yang harus ditempuh guna menyelesaikan persoalan korupsi, khususnya di kalangan elit politik.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa definisi dari korupsi?
2.    Bagaimanakah bentuk pola-pola korupsi di kalangan politik?
3.    Apa sajakah faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik?
4.    Bagaimana contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia?
5.    Bagaimanakah solusinya?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
1.    Mengetahui definisi dari korupsi.
2.    Mengetahui pola-pola korupsi di kalangan politik.
3.    Mengetahui faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik.
4.    Mengetahui contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia.
5.    Mengetahui solusi untuk mengatasinya.








BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Korupsi
            Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.

B.       Pola-Pola Korupsi
          Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.
         Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu ; Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
         Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
         Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.

C.      Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
          Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan.
          Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu: 
1.        Aspek Perilaku individu
          Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hidup yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, dan (g) ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar.
          Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namun saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, serta pendidikan ti nggi.
2.        Aspek Organisasi Kepemerintahan
          Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi adil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
          Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di tubuh organisasi kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40 persen responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan birokrasi kepemerintahan dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing sudah berkurang.
3.        Aspek Peraturan Perundang-Undangan
          Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat. 
         Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu konspirasi dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan  yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang  berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
4.    Aspek Pengawasan
          Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya  (a) adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
          Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi.

D.      Korupsi APBD
          Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi, 2004).
          Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
          Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah yang kaya sekalipun.
          Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat (Ardyanto, 2002)
          Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.
          Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia? Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).

E.       Solusi Penanggulangan Korupsi
Seperti yang telah kita ketahui, korupsi telah menjadi kebiasaan bagi para kalangan elit politik. Bahkan kini korupsi sudah mulai mendesentralisasi sampai ke pejabat tingkat daerah atau lokal. Korupsi biasanya dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang memperkaya diri sendiri. Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa solusi penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a.   Preventif.
1)        Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2)        Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi. Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.
3)        Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri
       sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
4)        Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
5)        Pimpinan harus memberi teladan. Karena kewajiban seorang pemimpin adalah memberi teladan yang baik bagi yang di pimpin. Seorang pemimpin harus berupaya memikirkan solusi korupsi yang sudah menjadi tradisi klasik di tanah air. Contoh yang bersih ini otomatis akan memberi kekuatan bagi seorang pemimpin untuk menegakkan hukum bagi para pelaku korupsi secara tegas, dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
6)        Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
7)        Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. Bagi kalangan pendidik, peran mereka sangat penting dalam menanamkan prinsip untuk tidak melakukan korupsi dari sekolah. Relevansi antara pendidikan karakter sejak dini untuk  membentengi generasi masa depan bebas korupsi sangat jelas. Sebagai individu yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan, seorang anak tentunya harus ditanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya. Sikap, prilaku, mental dan karakternya harus dibangun dan dikembangkan dari awal agar tidak terjadi penyimpangan. Dengan karakter yang kuat dan mentalitas yang sarat dengan nilai moral religius akan tumbuh tunas harapan generasi masa depan yang bersih dari praktek-praktek korupsi.
b. Represif
1)        Perlu penayangan wajah koruptor di televisi
Dengan adanya penayangan ini maka secara langsung koruptor tersebut akan dilihat oleh masyarakat luas sehingga muncul rasa malu baik dari dirinya atau keluarganya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi koruptor-koruptor yang lain.
2)        Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat
Kekayaan pejabat harus dipantau oleh lembaga khusus, setiap beberapa periode. Proses pencatatan terhadap kekayaan pejabat ini bisa berupa uang tunai, harta benda atau investasi berupa perhiasan, tanah dan lain lain. Ini bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus segera ditelusuri.
3)      Penegakan hukum
Para koruptor perlu diberi hukuman seberat beratnya yang membuat mereka jera. Sistem penegakan hukum di Indonesia kerap terhambat dengan sikap para penegak hkum itu sendiri yang tidak serius menegakkan hukum dan undang undang. Para pelaku hukum malah memanfaatkan hukum itu sendiri untuk mencari keuntungan pribadi, ujungnya juga pada tindakan korupsi . Alih alih muncullah istilah mafia hukum, yakni mereka yng diharapkan mampu menegakkan mampu  menegakkan masalah hukum malah mencari hidup dari penegakan hukum tersebut.




BAB III
KESIMPULAN

1.    Korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.
2.    Ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang.
3.    Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
4.    Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada, (4) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (5) peluang, dan (6) lemahnya pengawasan.
5.    Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a.   Preventif.
1)        Membangun etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2)        Memulai dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi. Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.
3)        Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
4)        Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan.
5)        Pimpinan harus memberi teladan.
6)        Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
7)        Memberi pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini.
b.   Represif
1)        Perlu penayangan wajah koruptor di televisi
2)        Pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat
3)        Penegakan hukum




















DAFTAR PUSTAKA


Ardyanto, Donny. 2002. Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2, Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, Jakarta
Baswir Revrisond. 1993. Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai  Terpilih: BPFE. Yogyakarta.
______________, 1996. Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan korupsi di Indonesia, dalam buku Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat: BPFE. Yogyakarta.
De Asis, Maria Gonzales. Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared for the Anti-Corruption Summit: World Bank Institute. November 2000.
Fadjar, Mukti. 2002. Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar
Helmi, dkk. 2003. Memahami Anggaran Publik: Idea Press. Jogjakarta
Hermien H.K.. 1994. Korupsi di Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi: Citra Aditya Bakti. Bandung
Klitgaard, dkk (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia & Patnership for Governance in Indonesia, Jakarta
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah: Citra Umbara. Bandung.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Daerah Bojonegoro

Perbedaan dari PSG dengan Prakerin dalam dunia SMK

Decision Support System (DSS) Dalam Bidang Pendidikan